Costruktivisme Learning terhadap Siswa di Sekolah 3 T SMA Negeri 1 Kepulauan Posek

SMA
Desy Triana Dewy, S.Pd

Pemerintah telah menetapkan kurikulum, sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan yaitu kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dirancang dalam bentuk tematik yang terdiri dari tema-tema dan dibagi ke dalam setiap subtema.

Untuk membantu peserta didik dalam pembelajaran tematik, pemerintah menyiapkan sebuah sumber belajar berupa buku tema dan buku panduan bagi guru.

Salah satunya ada sistem Pendekatan kontruksivisme. Dalam pembelajaran menggambarkan bahwa, pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun sosial. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke peserta didik, kecuali melalui keaktifan peserta didik untuk menalar, peserta didik aktif mengkonstruksi secara terus menerus. Sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi, agar proses konstruksi peserta didik dapat terlaksana (guru sebagai fasilitator) (Liadi et al., 2018).

Bagi konstruktivisme, pembelajaran bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) dari guru ke peserta didik, melainkan kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya (belajar sendiri).

Pembelajaran adalah partisipasi guru bersama peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi.

Guru dalam teori pembelajaran kontruktivisme berperan sebagai mediator dan fasilitator, dapat menerima dan menghormati upaya-upaya peserta didik untuk membentuk suatu pengertian baru, sehingga dapat menciptakan berbagai kemungkinan untuk peserta didik berkreasi.

Membebaskan peserta didik dari beban ikatan beban kurikulum dan membolehkan peserta didik (Rahmawati, Chumdari, 2021). Pengaruh Konstruktivisme terhadap strategi pembelajaran penguasaan yang luas dan mendalam, seorang guru dituntut untuk menguasai beragam strategi pembelajaran, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik.

Strategi yang disusun guru hanyalah suatu alternatif, dalam pembelajaran dan yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme ialah mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Dalam mengevaluasi, guru sebenarnya menunjukkan kepada peserta didik bahwa pikiran/ pendapat mereka tidak sesuai untuk persoalan yang dihadapi, berdasarkan prinsip atau teori tertentu. Kebenaran bukanlah hal yang dicari, namun berhasilnya suatu proses (viable) adalah hal yang dinilai.

Konsep konstruktivisme adalah pendekatan dalam pembelajaran dan pemahaman pengetahuan, yang menekankan pada peran aktif individu dalam membangun pemahaman mereka sendiri melalui pengalaman dan refleksi.

Ada banyak aspek positif dalam pendekatan sistem pembelajaran.

Pembelajaran yang berpusat pada siswa: Konstruktivisme menekankan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, di mana siswa aktif terlibat dalam proses pembangunan pemahaman mereka sendiri. Hal ini dapat meningkatkan motivasi belajar dan keterlibatan siswa.

Pemahaman yang mendalam: Dengan membangun pemahaman melalui pengalaman pribadi dan refleksi, siswa lebih mungkin untuk memahami konsep secara mendalam dan menyeluruh.

Pengalaman Praktis : Pendekatan konstruktivis mendorong pengalaman praktis, di mana siswa belajar melalui tindakan, percobaan, dan eksplorasi. Ini dapat membantu siswa, untuk mengaitkan teori dengan aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari.

Pengembangan keterampilan kritis : Konstruktivisme juga mendorong pengembangan keterampilan kritis seperti pemecahan masalah, analisis, dan sintesis. Siswa diajak untuk menghadapi masalah dan menemukan solusi sendiri, yang memungkinkan mereka untuk menjadi pembelajar yang lebih mandiri.

Relevansi Kontekstual : Konstruktivisme mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan historis dalam proses pembelajaran. Hal ini penting karena memungkinkan siswa untuk mengaitkan konsep-konsep yang dipelajari, dengan pengalaman mereka sendiri dan realitas sosial di sekitar mereka.

Meskipun demikian, konstruktivisme juga memiliki beberapa kritik, seperti kurangnya fokus pada pengetahuan faktual dan kebutuhan untuk bimbingan yang kuat dari guru. Namun, jika diterapkan dengan baik, pendekatan konstruktivis dapat menjadi landasan yang kuat, untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang berarti dan memperkaya bagi siswa.

Mengedepankan pembelajaran yang bersifat content-based, di mana menurut Jonassen pembelajaran content-based memiliki kelemahan.

Pertama, pembelajaran ini kurang alami karena tujuan pembelajaran tidak terkait langsung dengan kebutuhan riel manusia, akibatnya siswa kurang memiliki motivasi.

Kedua, pengetahuan bermakna tidak tidak cukup diperoleh melalui satu cara atau satu sudut pandang. Pengetahuan akan lebih bermakna jika diperoleh lewat banyak sudut pandang. Pembelajaran problem solving mudah terealisasi dengan pendekatan konstruktivisme, yang menekankan proses, berorientasi pada kebutuhan siswa dan kolaborasi.

Praktik prinsip-prinisp konstruktivisme dari dunia jaringan komputer (internet), ditunjukkan oleh Harasim (2007). Ia menggunakan istilah kollaborativisme, sebelumnya dikenal dengan istilah online collaborative learning (OCL). Harasim mencatat bahwa teori kollaborative berfokus pada jaringan pembelajaran yang muncul dari keberadaan jaringan komputer. Ia menjabarkan bahwa para pendiri dan penyedia pendidikan online, mereformulasi pedagogi di kelas atau merekayasa pedagogi baru yang mengambil manfaat dari keunggulan jaringan komputer, yakni memungkinkan siswa bekerja lintas geografi dan waktu dan berkolaborasi dalam aktivitas yang innovatif, berorientasi pada pemecahan masalah, berbagi pengalaman serta berpikir kritis.

Jaringan komputer membuka peluang yang tidak terbayangkan sebelumnya yakni : berbagi sudut pandang yang beragam dalam mendiskusikan isu-isu penting, mendorong kemampuan berpikir reflektif dan analitik, membangun respon multi dimensi dan multi disiplin ilmu, serta membangun pemahaman yang melampaui pemahaman kelas konvensional yang mengutamakan paradigma “pembelajarn sukses jika siswa mampu menjawab dengan benar”. Konstruktivisme jelas senafas dengan substansi yang dimiliki oleh collaborative learning seperti yang dijabarkan Harasim di atas.

Diharapkan teori ini bisa juga diterapkan untuk sekolah 3 T (tertinggal, terdepan dan terluar). Daerah tertinggal berarti memiliki kualitas pembangunan yang rendah, dimana masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Lalu dari sisi geografis berada di daerah terdepan dan terluar wilayah Indonesia.

Terkhusus untuk SMA Negeri 1 Kepulauan Posek, Lingga, Kepulauan Riau, termasuk sekolah yang masuk dalam kategori 3 T dimana masih jauh dari jangkauan pemerintah, dan letak geografisnya terluar dan tertinggal.

Penulis berharap penerapan sistem pembelajaran konstruktivisme ini diterapkan di sekolah ini, dan bisa membantu peran aktif individu dalam membangun pemahaman mereka sendiri melalui pengalaman dan refleksi.

 

Ditulis oleh : Desy Triana Dewy, S.Pd

NIM : 2386110125

Pedagogi/Pascasarjana Universitas Lancang Kuning.

Tinggalkan Balasan