Opini  

Muda Hanya Jargon: Cara Usang Para Politisi untuk Mendapatkan Suara

Politisi
Aisyah Abdiriana Mahasiswi Prodi Sosiologi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang.

Dapurrakyatnews – Anak muda menjadi tema dalam berbagai penyelenggaraan pemilu, baik pemilihan kepala negara, kepala daerah, maupun anggota legislatif. Demikian pula menjelang Pemilu 2024, anak muda kembali menjadi target prioritas bagi para politisi.

Para calon yang akan berkompetisi dalam pemilu mengangkat topik anak muda sebagai bahan kampanye politik mereka. Banyak politisi yang menyebut diri sebagai bagian dari anak muda, pro pada anak muda, berjiwa muda, hingga menyampaikan berbagai janji untuk memikat suara anak muda.

Setelah pemilu, di dalam berbagai kesempatan, bidang, dan kebijakan, anak muda cenderung tidak dihargai dan memiliki daya tawar yang lemah. Anak muda menjadi daya tarik dan pembeda dalam pemilu.

Susenas 2020 mengungkap bahwa sekitar 64,50 juta jiwa atau 23,86 persen dari jumlah penduduk Indonesia berada dalam rentang usia pemuda (BPS, 2020).

Rentang usia pemuda ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan (UU Kepemudaan), yaitu warga negara Indonesia yang berusia 16 hingga 30 tahun yang merupakan fase vital usia pertumbuhan dan perkembangan.

Dengan ukuran yang berbeda, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklasifikasikan pemilih muda yakni dengan rentang usia 17 hingga 40 tahun. Menurut data KPU, jumlah mereka mencapai 106.358.447 jiwa atau sebesar 52 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) 2024.

Kompas menguraikan komposisi mereka berdasarkan rentang usia, yaitu 63.953.031 jiwa untuk usia 17-30 tahun dan 42.398.719 jiwa untuk usia 31-40 tahun. Lalu, ada 6.697 jiwa di bawah 17 tahun yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih.

Dengan angka yang demikian besar, anak muda menjadi magnet yang menggiurkan yang menarik perhatian para politisi dan partai politik. Mereka menggencarkan upaya untuk meraih hati anak muda dengan cara menggunakan berbagai strategi yang sesuai dengan selera mereka.

Anak muda menjadi target prioritas para politisi dan partai politik dalam memikat suara rakyat. Mereka beradu sengit untuk menarik simpati anak muda, baik dari segi penampilan, gaya bicara, maupun isu-isu yang digaungkan.

Tak aneh, kita sering menjumpai partai politik yang mengaku sebagai partainya anak muda, berfoto-foto ala anak muda, menjaring para influencer media sosial untuk bergabung dengan partai politik mereka, bahkan mempekerjakan para kreator konten untuk mengampanyekan visi-misi mereka.

Mereka berusaha meyakinkan anak muda bahwa mereka adalah pilihan yang tepat dan akan membawa perubahan yang diharapkan oleh anak muda. Berbagai alat peraga kampanye sering mengangkat anak muda sebagai topik utama. Para calon presiden, calon wakil presiden, calon kepala daerah, calon anggota legislatif dengan pose dan gaya ala anak muda sering terlihat di dalamnya.

Tak hanya itu, berbagai kata, slogan, kalimat yang mengandung kata anak muda, pemuda, atau berjiwa muda pun sering menghiasi. Dalam perburuan suara, kata “muda” disederhanakan secara ekstrem oleh para politisi.

Melalui jargon seperti “Muda, Cerdas, Berakhlak”; “Anak Muda Harus Berani Masuk Politik”; dan sebagainya, para politisi merampas makna “muda” untuk melegitimasi nafsu, impian, dan hasrat untuk berkuasa. Mereka berpura-pura menjadi “muda”, “anak muda”, atau “pemuda” untuk melegitimasi keinginan mereka untuk masuk ke kelas berkuasa.

Dalam konteks kampanye politik, para politisi yang merampas arti muda untuk mencapai kekuasaan, sesungguhnya bekerja dengan langkah-langkah yang sangat ketinggalan. Sulit untuk memisahkan kampanye politik dari para politisi yang berpose muda dengan kampanye politik dari para politisi lazimnya.

Di ruang kota, misalnya, mereka sama-sama berkampanye dengan menghiasi berbagai sudut kota dengan reklame politik dan menjadi penyebab polusi visual. Mereka juga cenderung pada pola paternalistik yang mengutamakan citra diri ketimbang gagasan.

Ketimbang menyajikan gagasan yang siap disikapi oleh publik, para politisi ini cenderung menyoroti citra diri dan jargon sebagai anak muda atau peduli pada anak muda.

Para politisi yang mengaku muda sebenarnya meneruskan berbagai cara kuno yang sudah lama dipraktikkan di dunia politik di Indonesia. Muda dan anak muda hanyalah jargon belaka. Cara dan gaya mereka berpolitik masih saja tua dan klasik. Mereka hanya memanfaatkan anak muda sebagai siasat untuk menduduki kekuasaan.

Selain itu, praktik berfoto diri bersama foto ketua umum partai atau calon yang dianggap lebih senior juga masih menjadi fenomena umum yang bisa dilihat di mana-mana. Dalam perjuangan untuk mendapatkan simpati dan suara, mereka juga menggunakan pola-pola mobilisasi massa yang selama ini lazim digunakan. Tidak menutup kemungkinan dan sudah menjadi rahasia terbuka, upaya-upaya menggunakan politik uang untuk menggaet suara tetap menjadi hal yang dilakukan.

Tinggalkan Balasan