Sumenep, Dapurrakyatnews – Instruksi untuk menggunakan baju adat sebenarnya hal yang positif, jika tujuannya untuk melestarikan nilai-nilai budaya lokal. Dalam rangka memperingati hari jadi kabupaten Sumenep ke 752, pemerintah Kabupaten Sumenep mengeluarkan surat edaran yang isinya berupa instruksi kepada Forkopimda, para Kabag, Camat, Kasi, pimpinan BUMN/BUMD, Kemendikbud/Kemenag, bahkan pimpinan PT Swasta.
Sayangnya, surat edaran menggunakan baju adat yang ditanda tangani Sekretaris Daerah, Ir. Edy Rasiyadi, M.Si tersebut memuat termenologi “bangsawan”. Istilah yang sangat tidak populis di tengah upaya bangsa ini memperjuangkan kesetaraan dan egaliterianisme, utamanya lepas dari gurita oligarkhi dalam segala aspek kehidupan berbangsa, termasuk oligarkhi politik.
Dalam KBBI bangsawan berarti keturunan orang mulia (terutama raja dan kerabatnya); ningrat keluarga raja. Secara sosial diartikan strata dalam masyarakat yang memiliki hak paling banyak dalam lapangan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik berdasarkan hukum waris.
Pertanyaannya, perlukah kultur kebangsawanan sebagai nilai ini dirayakan? Bangsawan selalu merupakan kelompok minoritas yang beruntung karena memiliki akses mayoritas dalam lapangan kehidupan. Dampaknya pasti, adalah pengurangan atau malah perampasan hak dan kesempatan hidup rakyat jelata.
Jika betul pakaian adalah cerminan kepribadian, maka instruksi tentang pemakaian baju adat bangsawan melalui surat edaran bernomor 556/1826/435.108.3/2021 itu cukup menjadi cermin bahwa mental birokrasi kita saat ini masih cenderung feodal (minta dilayani) daripada melayani.
Menyajikan simbol-simbol feodalisme tidak lain merupakan upaya tidak sadar menghadirkan nostalgia masa lalu tentang kejayaan kaum bangsawan di satu sisi, dan jangan lupa di situlah rakyat menderita pada sisi yang lain. Kaulo-Gusti, rakyat dipersepsi pantas menjadi pelayan penguasa. Atau jangan-jangan realitas politik kita di Sumenep sesungguhnya dalam kendali feodalisme, meski dengan aksesoris dan kamuflase demokrasi.
Bukti ke arah itu sangat nyata sekali dipertontonkan pada khalayak. Politisi dan penguasa berlomba-lomba mendapatkan posisi puncak hirarki oligarkhi dengan menguasa lahan-lahan strategis dan sumber utama ekonomi.
Berduyun-duyun disusul birokrasi-birokrasi di bawahnya, para penyembah status dan jabatan. Semua bersedia menjilat dalam satu gerakan, menguasai rakyat dan menjinakkannya, bukan melayani.
Semoga tidak….!