Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera
Dapurrakyatnews – Peran adalah sebuah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki status, sedangkan status itu sendiri, sebagai suatu peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok atau posisi suatu kelompok, dalam hubungan dengan kelompok lain.
Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan. Jadi pengertian peran adalah suatu perilaku atau tindakan yang diambil oleh para pemimpin, sesuai dengan kedudukannya di dalam masyarakat yang sudah menjadi tugasnya, dalam membina dan membimbing seseorang untuk terjun ke dunia sesungguhnya, dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat.
Setiap individu memiliki peranan yang berbeda-beda sesuai dengan
kedudukan yang mereka tempati. Kedudukan yang mereka tempati itu
menimbulkan harapan-harapan atau keinginan tertentu dari orang sekitarnya, misalnya: dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan,
seseorang diharapkan menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan
peran yang dipegangnya.
Dalam agama, juga telah dijelaskan bahwa setiap orang itu berbuat sesuai dengan pribadinya atau pembawaannya. sebagaimana telah dijelaskan dalam Surah Al-Israa’ ayat 84 yang artinya.
“Setiap orang berbuat (beramal) sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu (kalian) lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai kaumku! Berbuatlah menurut kedudukanmu, aku pun berbuat (demikian). Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) di akhirat (nanti).
Seruan untuk berbuat berkesesuaian dengan kedudukan dan pembawaan (“syaakilati”) kapasitasnya adalah kepada manusia-manusia, selain agar dapat berbuat baik sebagai tambahan kebaikan sebagai hamba, yang senantiasa mengesakan-Nya, juga agar bermanfaat bagi orang lain. Selain itu yang tidak kalah penting untuk diindahkan adalah untuk tidak menjadi setan!
Setan, sebagai suatu sifat dengan mengikuti jejak-jejaknya berupa mengganggu dan berusaha, meski tidak dapat mendatangkan mudharat kepada hamba yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya.
Menjadi setan berwujud manusia tentu bukanlah suatu tujuan, maka komunikasi dalam berbagai bentuknya, toleransi serta perdamaian penting untuk dikedepankan.
Sebab setan sekedar menghadirkan rasa sedih dan gangguan-gangguan kecil, maka yang mengimani keesaan Allah dengan suasana dan nama-nama-Nya yang indah (“asmaa’ul-husna”) segera mengingat ayat-ayatNya, bahwa Allah maha kuasa atas segala sesuatu, Maha Menentukan segala yang terjadi serta kebaikan hanya ada padaNya, juga perjuangan para Rasul yang memiliki tingkat ujian dengan kesulitan tertinggi, berikut para penerus sebagai percontohan, justru dapat membangkitkan semangat dan akan menguatkan sesiapa saja dari usaha-usaha berupa tipu daya syetan dan bala tentaranya.
Maka segeralah berlindung kepada Allah dan berdo’a kepadaNya.
Kembali kepada kedudukan, selain sebagai aktualisasi diri berupa eksistensi dalam menjalankan amanat kehidupan di dunia, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya, juga dapat menjadi kesempatan untuk beramal salih sebagai bekal kehidupan abadi yang sesungguhnya (“hayawaan”) di akhirat kelak.
Mahir di bidang kesehatan, olahraga, pertanian, peternakan, dan perikanan merupakan di antara contoh kapasitas termaksud, juga terdapat semenjak dahulu (salaf). Tidak terkecuali orang-orang salih kala itu, bahkan para nabi diriwayatkan adalah pernah menggembalakan kambing, tidak terkecuali Nabi Muhammad yang memang tersohor kepiyawaiannya dalam menggembalakan kambing-kambing saudagar Makkah kala itu.
Tidak semata dimaknai sebagai urusan dunia, potensi yang terus dikembangkan tidak dijadikan sebagai tujuan, namun bagian dari usaha untuk mencari kebaikan Allah.
Maka orientasi utama adalah bukan lagi kekayaan semata, namun tidak sepenuhnya anti juga. Begitupun keterkenalan dan jabatan lainnya. Mendahulukan Allah serta berdo’a dan memohon perlindungan kepadaNya, untuk dapat senantiasa menjadikan Allah adalah orientasi utama, “InshaaAllah!”